Wednesday, July 11, 2007

Metode Baru Pengukuran Jarak Ekstragalaksi

Galaksi spiral NGC 300. Lingkaran dan persegi empat menunjukkan bintang-bintang super-raksasa biru yang diukur dalam eksperimen. Bintang dalam lingkaran sekitar 50 hingga 100 persen lebih panas dari Matahari, sementara persegi empat menandai bintang-bintang bertemperatur setidaknya 300 persen dari Matahari. (Gambar: Institute for Astronomy)

Para astronom telah menemukan metode baru yang digunakan untuk mengukur jarak ekstragalaksi secara lebih akurat berdasarkan gravitasi bintang dan temperatur efektif dari bintang super-raksasa biru pada galaksi diluar Rumpun Lokal. Penemuan ini akan dipresentasikan pada pertemuan American Astronomical Society (AAS) pada tanggal 27-31 Mei 2007 mendatang di Honolulu, Hawaii.
Rolf-Peter Kudritzki dari Institute for Astronomy (IfA) beserta para kolaboratornya mengamati galaksi NGC 300, yang berjarak sekitar 6 juta tahun cahaya yang terletak di konstelasi Sculptor, untuk menguji metode baru ini dalam mengukur jarak antar galaksi. Mereka mengambil spektrum untuk mengukur temperatur atmosfer bintang dan gravitasi permukaannya. Dengan pengukuran ini, mereka dapat menentukan kecerlangan intrinsik dari tiap bintang dan kemudian membandingkannya dengan kecerlangan tampak dari bintang bersangkutan untuk menemukan jaraknya.
Mereka lantas membandingkan hasil pengukuran mereka dengan pengukuran serupa yang memanfaatkan bintang variabel cepheid, yang merupakan cara tradisional untuk mengukur jarak dari galaksi dekat. Metode baru ini ternyata bekerja dengan baik. “Kelihatannya kita dapat menentukan jarak ke galaksi lain dengan akurasi lima persen, yang menyediakan cara lain untuk menentukan konstanta Hubble secara lebih presisi,” demikian menurut Kudritzky. Konstanta Hubble menunjukkan tingkat pengembangan alam semesta saat ini.

Observasi ini memanfaatkan spektra beresolusi sedang maupun rendah yang diambil melalui instrumen Focal Reducer Spectrograph (FORS) pada perangkat Very Large Telescope milik European Southern Observatory yang berlokasi di Paranal, Chile. Kudritzky adalah perancang instrumen FORS saat ia masih di University of Munich sebelum ia pindah ke Hawaii pada tahun 2000. Dalam penelitian terkini pada galaksi lain, tim proyek ini juga memanfaatkan instrumen Low Resolution Imaging Spectrometer (LRIS) pada teleskop Keck I di observatorium Mauna Kea, Hawaii. Baik FORS maupun LRIS adalah spektrograf yang sangat efisien, yang memungkinkan tim ini mengambil spektra dari banyak bintang dalam satu galaksi secara simultan (dengan ekspos tunggal). Bintang-bintang itu dapat dipelajari secara individual kemudian, saat data dianalisis untuk menentukan temperatur atmosfer serta gravitasi permukaannya.
Dalam pertemuan AAS mendatang, kelompok Kudritzky akan mempresentasikan metode analisis yang mereka gunakan. Mereka juga akan mendiskusikan penentuan komposisi kimia dari tiap bintang di galaksi jauh, dan bagaimana komposisi itu berubah mulai dari pusat galaksi hingga pinggirannya.
Bintang super-raksasa biru adalah bintang-bintang yang paling besar dan paling cemerlang dalam gelombang kasatmata, dengan kecerlangan intrinsik antara 10.000 hingga 1.000.000 kali Matahari. Warnanya terlihat biru akibat temperatur atmosfernya yang mencapai antara 150 hingga 500 persen dari Matahari kita. Karena warna dan kecerlangannya, bintang-bintang ini terlihat menyolok diantara miliaran bintang di galaksi, sehingga sangat mudah untuk dikenali. Dengan demikian, bintang dari jenis ini sangat ideal sebagai alat bantu untuk mempelajari populasi bintang pada galaksi diluar Rumpun Lokal (sekumpulan galaksi yang juga mencakup galaksi kita, Bima Sakti), dalam upaya menentukan jarak, komposisi kimia, formasi bintang di galaksi, dan penyerapan cahaya bintang oleh gas dan debu antar bintang. Di galaksi Bima Sakti, bintang Deneb di konstelasi Cygnus, dan Rigel di Orion adalah dua diantara bintang super-raksasa biru yang kita kenal. (astronomy.com).

No comments: